Kupang, Horizon Nusantara.Com– ChildFund International di Indonesia dan Yayasan Cita Masyarakat Madani (CITAMADANI) didukung UNICEF menggelar kegiatan sosialisasi program pengurangan Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kegiatan tersebut bertujuan membangun pemahaman bersama multi pihak terkait pentingnya kemampuan dan pengetahuan multi pihak untuk mengatasi dan mendukung kesempatan belajar bagi ATS . Selain itu, untuk memetakan ATS dan anak berisiko putus sekolah guna mendapatkan dukungan kesempatan belajar. Sosialisasi program ATS juga bertujuan memetakan inisiatif yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam upaya mendukung kesempatan belajar bagi ATS di NTT.
Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Rabu (14/09/2022) di Hotel Kristal Kota Kupang dengan melibatkan sejumlah perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tingkat Provinsi dan Kabupaten, diantaranya yaitu Beppelitbangda NTT, Dinas P&K NTT, Dinas PMD NTT, Dinas Sosial NTT, Dinas Perindustrian Koperasi dan UMKM, Kanwil Kemenhum HAM NTT, Dinas P&K Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, Dinas PMD Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, Dinas Sosial Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT, Dinas Perindustrian dan Koperasi UMKM Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, Delapan Kepala Desa yang menjadi target percontohan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, dan perwakilan Lingkar Remaja CITAMADANI Kupang. Sosialisasi program ATS di NTT juga menghadirkan sejumlah narasumber dari UNICEF, Kemendes, Direktorat PMPK, Bappenas, Bappelitbangda NTT dan Dinas P&K NTT, dan media.
Direktur Program dan Sponsorship ChildFund International Indonesia, Aloysius Suratin dalam sambutanya menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Kementrian khususnya Bappenas, Kementrian Desa dan Desa Tertinggal, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan atas dukungan yang diberikan.
Aloy Suratin menjelaskan, bahwa peran Childfund dalam visinya adalah untuk mewujudkan hak anak dan di dalam kerjanya, Childfund selalu melibatkan mitra untuk melihat setiap fenomena sosial dalam dimensi sektoral sehingga program ini merupakan dasar kolaborasi UNICEF bersama ChildFund dan CITAMADANI untuk lebih melihat isu terkait ATS .
“Berdasarkan data Anak Tidak Sekolah di Indonesia terdapat 4,1 Juta anak tidak sekolah, maka apabila dibandingkan dengan penduduk Singapura yang berjumlah 5,9 Juta penduduk maka jumlahnya hamper mendekati populasi penduduk negara Singapura.. Maka akan sangat sulit jika tidak ada intervensi baik dari pemerintah dan berbagai pihak untuk menekan angka anak tidak sekolah, sehingga ChildFund juga menggagas pendidikan Life skill sebagai upaya untuk memback up anak – anak tidak sekolah agar lebih mandiri dalam mempersiapkan masa depan,” tutur Aloy.
Semua kerja – kerja pemberdayaan ini, lanjut Direktur Program dan Sponsorship ChildFund Indonesia itu, tidak terlepas dari dukungan Pemerintah Provinsi NTT. Khususnya Bapelitbangda yang selalu mendukung impelentasi program ChildFund dan CITAMADANI yang didukung oleh UNICEF dalam peran penting menggagas upaya penanganan Anak Tidak Sekolah. Selajutnya Pemerintah Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan yang menjadi wilayah pelaksanaan program penanganan Anak Tidak Sekolah di NTT bisa menjangkau hingga ke Desa. “Kami berharap rekan-rekan media dapat berperan penting dalam hal menyampaikan pesan dan program dalam penanganan Anak Tidak Sekolah di Provinsi NTT.
“Kunci sukses dari program ini ialah peran dari kepala desa, sehingga ketika anak tidak sekolah, tapi anak tidak pernah putus menjadi warga desa, sehingga dukungan Kepala Desa sangatlah penting untuk memberikan perhatian bagi seluruh anak,” ucap Aloy.
Education Specialist UNICEF Indonesia, Suhaeni Kudus dalam sambutannya menyampaikan, “Kaji cepat pada anak yang berada diluar sekolah pada situasi COVID19 yang dilakukan oleh UNICEF, mengindikasikan bahwa terjadinya peningkatan angka anak diluar sekolah;3 dari 4 anak yang terdaftar di sekolah paling tidak memiliki 1 faktor risiko yang dapat mengakibatkan mereka putus sekolah. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh dampak sosial-ekonomi yang sangat besar dari COVID19 pada rumah tangga. Keluarga tidak punya banyak pilihan selain memprioritaskan makanan daripada pendidikan dalam banyak kasus,” ucapnya.
Menurut Suhaeni Kudus, anak-anak juga menghadapi kurangnya akses internet, dan terbatas atau tidak ada akses ke perangkat pembelajaran untuk memperoleh materi pembelajaran sekolah dll selama pandemi. Selain itu, komitmen anggaran untuk program pengembangan anak (Pendidikan Kecakapan Hidup) di tingkat kabupaten masih rendah. Hanya 50% dana desa yang dialokasikan pemerintah daerah untuk program pemberdayaan pemuda dan remaja. Tantangan- ini adalah salah satu alasan pemerintah Indonesia sulit mewujudkan tercapainya kebijakan wajib belajar 12 tahun.
“Program mengatasi masalah Anak Tidak Sekolah melalui implementasi Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat dalam kemitraan dengan Kementerian Desa PDTT, yang memperkuat kapasitas pemerintah daerah untuk melakukan pemetaan berbasis masyarakat untuk mengidentifikasi Anak Tidak Sekolah dan hambatan mereka untuk mengakses layanan pendidikan, serta merancang tindakan untuk membantu Anak Tidak Sekolah kembali dapat memiliki akses untuk pendidikan,” imbuhnya.
Sementara itu, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi NTT, Ganef Wurgiyanto dalam sambutannya sebelum membuka kegiatan Sosialisasi program pengurangan ATS di NTT, menekankan peran kepala desa sebagai pemilik masyarakat di desa, mengingat Anak Tidak Sekolah adalah bagian dari warga desa.
“Kepala Desa adalah orang yang tahu persis masyarakatnya sekolah atau tidak sekolah. Kepala Desa juga memiliki masyarakat dan dihormati sehingga apabila Kepala Desa yang menyarankan (semua anak harus sekolah, red) maka akan dituruti oleh masyarakat. Jika ada orang luar yang menyarankan, tidak serta merta diterima dengan baik oleh masyarakat, dan akan timbul keraguan dikarenakan orang tersebut tidak atau belum dikenal secara baik,” jelasnya.
Dalam diskusi nanti, pesan Ganef, pengambil kebijakan dan pemangku program perlu pahami konteks Anak Tidak Sekolah dan faktor yang mempengaruhi anak tidak bersekolah. Pendidikan sangat penting, karena bisa merubah cara berpikir orang dan cara kerjanya.