Oleh Agustinus Tetiro
HORIZON NUSANTARA.COM – Rasa-rasanya, Ende tidak butuh pemilihan kepala daerah (pilkada) lagi kali ini. Salah satu fungsi pilkada adalah memilih (calon) pemimpin yang mempunyai kualitas tertentu untuk mengatur daerah. Apakah Ende (belum) memiliki calon pemimpin yang berkualitas? Lalu, mengapa tidak butuh pilkada lagi?
Beberapa hari ini, linimasa media sosial saya dipenuhi dengan foto dan video acara pelantikan, penyambutan dan upacara bendera perdana Penjabat (Pj) Bupati Ende, Dokter Gusti Ngasu. Saking semangatnya netizen, malah ada yang salah tag nama dan salah kirim ucapan selamat/proficiat ke saya.
Kesamaan nama memang bisa jadi peluang untuk buat lelucon. 😀
Dari kuartal IV tahun lalu hingga awal tahun ini, saya mendapatkan kesempatan baik dan ber-rahmat untuk bisa berada di Ende, mengikuti suatu proses pileg, dan tentu saja mempelajari sesuatu tentang politik lokal dari dekat, bahkan dengan ‘metode’ partisipatif. Dengan demikian, saya mempelajari sepak terjang beberapa tokoh publik (politik dan birokrasi) di sana.
Tentu saja, dari hasil ‘pembelajaran’ itu, saya menemukan berbagai jenis dan tipe tokoh publik. Ada yang memang sangat berkualitas, ada yang medioker, ada yang orang Ende Lio bilang “isi ae iwa” (=tong kosong nyaring bunyinya). Itu fenomena yang biasa dalam kehidupan publik dan politik.
Salah satu yang memiliki kualitas bagus dalam ‘pengamatan’ amatir dan pengalaman saya adalah figur dokter Gusti Ngasu. Saya tidak mengenal dekat Pak Dokter ini, tetapi beberapa pertemuan kami membuat saya berkesimpulan positif.
Karir profesionalnya sebagai aparatur sipil negara (ASN) tentu saja telah menjadi pengetahuan kita bersama: top! Tangganya jelas: dari seorang dokter pegawai negeri sipil (PNS) hingga sekretaris daerah (sekda). Bahkan, pernah secara kreatif, masuk dan berjuang dalam pertarungan kursi eksekutif beberapa periode lalu.
Satu hal yang saya pikir menarik bahwa saya hampir selalu bertemu dengan dokter Gusti (dan istrinya) di gereja Katedral Kristus Raja Ende, dalam berbagai acara dan kegiatan, mulai dari misa, makan malam saat uskup Sensi meninggal, jalan salib dan kegiatan rohani lainnya.
Tentu saja secara kasat mata, ini membuktikan kalau pak dokter memiliki catatan keterlibatan sosial yang sangat baik. Lebih dalam, pastilah juga beliau memiliki ‘bakat’ religius yang baik. Orang tidak bisa terlibat begitu saja di kehidupan menggereja kalau tidak merasa terpanggil.