KUPANG, HORIZON NUSANTARA.COM– Inspektur Polisi Dua (Ipda) Rudy Soik, sedang diproses kode etik di Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur (NTT), terkait pemasangan garis polisi di tempat penampungan bahan bakar minyak (BBM) ilegal di rumah Ahmad Munandar dan Algazali, dua warga Kota Kupang.
Saat yang bersamaan, muncul pernyataan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid) Polda NTT Komisaris Besar Polisi Ariasandy, di sejumlah media, terkait Rudy yang terancam dimutasi karena karaoke bersama istri orang saat jam dinas berlangsung.
Rudy terancam dimutasi keluar dari NTT berdasarkan putusan Komisi Kode Etik Polri Nomor: PUT/32/VIII/2024/KKEP tanggal 28 Agustus. Salah satunya mutasi demosi selama tiga tahun keluar wilayah Polda NTT.
Rudy disebut pernah menerima putusan disiplin dan kode etik sebanyak lima kasus.
Menanggapi itu, Rudy mengklarifikasi sekaligus minta Kabid Humas Polda NTT Komisaris Besar Polisi Ariasandy, untuk tidak membangun narasi seolah-olah ada perselingkuhan yang dilakukannya.
Dia meminta Ariasandy, lebih jujur untuk melihat fakta yang sebenarnya.Sambil memperlihatkan rekaman CCTV, Rudy menjelaskan, pertama, setelah anggota menyelidiki hingga ke lokasi penimbunan bahan bakar minyak (BBM) ilegal milik Ahmad, warga Kecamatan Alak, Kota Kupang.
Rudy menarik anggotanya untuk kembali ke Restoran Master Piece Kota Kupang, untuk makan siang dan laksanakan analisa dan evaluasi (Anev).
Jarak Master Piece dengan Markas Polda NTT sekitar 100 meter dan tempat itu kerap digunakan oleh ibu-ibu Bhayangkari untuk acara makan.
Rudy pun selalu diperintah untuk menyiapkan tempat itu. Ipda RS juga menunjukkan izin restoran Master Piece.
Menurut Rudy, Ariasandy terkesan membangun narasi seolah-olah ada perselingkuhan antara para anggota tim Reserse dan Kriminal Polresta Kupang (jumlahnya 13 orang) yang hari itu menyelidiki kasus BBM ilegal bersamanya.
Padahal, kegiatan makan siang di Master Piece, Kapolresta Kupang Kombes Pol Aldian Manurung juga mengetahui pergerakan Ipda RS bersama tim di tempat itu.
“Saya merasa ini ada diskriminasi dan diskriminatif, karena setelah itu anggota Reskrim Polresta Kupang yang ikut saya dalam operasi penertiban hari itu dimutasi ke wilayah-wilayah terpencil NTT. Saya dan Kasat Serse Polresta Kupang dimutasi non job, diperintah masuk sel, saya juga dituduh otak di balik gagalnya anak Kapolda NTT masuk Akpol,”sebutnya.
“Sakit tidak masuk kantor pun diperintah untuk ada surat keterangan dokter. Padahal ada ratusan anggota lain yang berlawanan sakit tidak pernah diminta surat keterangan sakit. Dengan peristiwa peristiwa diskriminasi dan diskriminatif seperti ini, saya menduga saya sengaja dimutasi ke daerah operasi militer Papua, untuk hasilnya dijadikan mirip seperti penembakan Brigpol Josua yang direkayasa pembunuhannya seperti tembak menembak,” tambah Rudy.
Perselingkuhan yang dituduhkan kepada Rudy, juga dibantah langsung oleh Kapolresta Kupang Kota Komisaris Besar Polisi Aldinan Manurung, yang menggelar jumpa pers bersama sejumlah wartawan, Kamis (4/7/2024).
“Isu yang menyebutkan bahwa ada perselingkuhan itu adalah tidak benar. Saat itu anggota saya, berdasarkan surat perintah, tengah melakukan operasi dugaan mafia BBM ilegal di wilayah Kota Kupang. Setelah melakukan operasi, anggota saya yang berjumlah kurang lebih 15 orang saat itu beristirahat untuk makan di kafe tersebut, sehingga dari pihak Paminal Polda datang dan hanya untuk mengecek. Jadi tidak ada yang selingkuh,” jelas Aldinan.
Rudy kembali menjelaskan, untuk pemasangan garis polisi di tempat penampungan BBM ilegal di rumah Ahmad Munandar dan Algazali, dilakukan karena sedang menjalankan rangkaian penyelidikan kasus BBM ilegal.
Dalam kasus BBM ilegal itu, terdapat sejumlah fakta adanya keterlibatan anggota Polresta Kupang Kota, yang menerima suap dari Ahmad, saat Ahmad membeli minyak subsidi jenis solar menggunakan barcode Law Afwan (Pengusaha dari Cilacap).