JAKARTA, HORIZON NUSANTARA.COM – Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (KOMPAK) Indonesia minta Pj Gubernur NTT, Ayodhia Kalake untuk terlebih dahulu menagih hasil identifikasi dan verifikasi (due diligent) baik dari bank NTT (selaku pemohon, red) maupun bank calon mitra (selaku penerima permohonan, red), sebelum menjawab desakan pihak tertentu untuk teken kerjasama KUB (Kemitraan Usaha Bank) dengan Bank DKI terkait pemenuhan modal inti bank NTT Rp3 triliun.
Demikian disampaikan Ketua KOMPAK Indonesia, Gabriel Goa melalui tilis tertulis kepada media ini pada Rabu, 01 Mei 2024 menanggapi pernyataan Pengamat Hukum Bisnis Perbankan, Piet Jemadu soal Modal Inti Bank NTT.
“Tujuannya agar Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan para pemegang saham Bank NTT lainnya mendapatkan informasi awal tentang banyak hal terkait bank calon mitra. Misalnya terkait prediksi komposisi saham Bank NTT kelak, besaran saham bank NTT yang tergerus berapa persen, proyeksi potensi deviden setelah KUB kelak,” tulis Gabriel.
Terkait hal ini, Gabriel berpandangan, bahwa Pj Gubernur NTT selaku PSP mesti menentukan beberapa pilihan bank, karena modal masing-masing calon bank penerima tawaran KUB yang berbeda-beda akan menentukan pula besaran komposisi prosentase tergerusnya saham bank NTT, jika diputuskan KUB.
“Pertanyaannya apakah bank NTT sudah buat due diligent terhadap bank DKI, Bank Bali, Bank Jatim, Bank Jabar atau yang lainnya sebagai bahan analisis para Pemegang Saham, untuk menentukan calon mitranya?” tantang Gabriel.
Pegiat anti korupsi itu menilai sikap dingin Pj Gubernur NTT, Ayodhia Kalake atas berbagai desakan dalam rangka pemenuhan modal inti Rp3 Triliun sebenarnya sikap cerdas, karena menunjukkan kehati-hatian seorang Ayodhia selaku pemimpin yang paham betul prosedur kemitraan KUB dengan bank lain.
“Kita amati sepertinya pak PJ Gubernur masih menunggu data tersebut dari bank NTT. Jika data yang kita maksudkan itu sudah ada di meja pak Pj Gubernur, kami yakin beliau akan segera menentukan sikap, seperti apa rekomendasi beliau,” jelasnya.
Intinya menurut Gabriel, harus ada data hasil investigasi dan verifikasi secara teliti (due diligent) dari bank NTT untuk diserahkan ke para pemegang saham bank NTT, untuk dianalisis dan diputuskan dalam RUPS.
“Jika sudah ada, pertanyaannya dengan bank mana bank NTT ber KUB? Berikut, kenapa dengan bank A bukan bank B? Mana simulasi analisisnya untuk masing-masing calon bank induk itu?” tantangnya lagi.
Simulasi analisis yang dimaksud Gabriel yaitu antara lain prediksi laba, prediksi deviden setelah KUB. Jika opsi BPR bagaimana prediksi laba dan devidennya? Alasannya, bisa saja dalam status BPR justru laba dan deviden lebih besar ketimbang KUB, karena 100 % saham masih di NTT tidak di share ke pemegang saham yang baru.
Namun, kata Gabriel, jikalau pilihan akhir pemegang saham Bank NTT yaitu KUB, maka Bank NTT tentu harus memilih calon parent bank yang membuat modal bank NTT tergerusnya paling kecil.
Untuk itu, lanjutnya, manajemen bank NTT saat ini harus buat simulasi terhadap beberapa bank. Jangan hanya satu bank agar Bank NTT tidak rugi. Juga agar tidak ada tudingan miring kepada para pemegang saham yang menetapkan secara subyektif parent bank tertentu.