Masyarakat Jangan ‘Digoreng’ Opini Menyesatkan Tentang Kasus MTN PT. SNP Rp 50 M Bank NTT

Avatar photo
  • Bagikan
Horizon Nusantara
WhatsApp Image 2022 06 17 at 17.05.13

O P I N I
Oleh : Marsel Nagus Ahang, SH. (Ketua Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM)

Mengutip pemberitaan media online “Bank NTT Tetap Pada Pendirian, Kerugian MTN Rp 50 Milyar Itu Resiko Bisnis – Koran Timor”

“KUPANG, KORANTIMOR.COM – Bank Pemerintahan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Timur (NTT) atau Bank NTT masih tetap pada pendirian tegas, bahwa kasus kerugian akibat pembelian Surat Berharga berupa Medium Term Notes (MTN) senilai Rp 50 Milyar dengan nilai coupon rate Rp 10,5 Milyar dari PT. SNP adalah resiko bisnis atau Business Judgement Rule.

Demikian salah satu point kesimpulan/klarifikasi Bank NTT melalui Kuasa Hukumnya, Apolos Djara Bunga, S.H dalam rilis tertulis yang diperoleh tim media ini pada Selasa (14/05/2022) terkait kasus MTN Rp 50 Milyar Bank NTT.

“Bahwa dari Rapat umum pemegang saham PT. BPD NTT menyatakan bahwa transaksi MTN senilai Rp 50.000.00.000,- (lima puluh miliar) dianggap resiko bisnis,” tulisnya.

Menurutnya, transaksi MTN senilai Rp 50.000.000.000,- (Lima Puluh Milyar) tidak saja terjadi pada bank NTT, tetapi terjadi juga pada Bank umum lainnya dalam jumlah yang cukup besar dan hal ini dianggap sebagai resiko bisnis. “MTN senilai Rp 50.000.00.000,- (lima puluh milyar) dianggap resiko bisnis,” tegasnya.

Djara Bunga juga menjelaskan, bahwa sebelum melakukan transaksi pembelian MTN Rp 50 Milyar dari PT. SNP, sebelumnya bank NTT sudah melakukan uji tuntas (Due Diligence) terhadap PT. SNP Finance sesuai keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor : Kep-412/BL/2010 Tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat Utang.

“Bahwa kedudukan hukum PT. SNP Finance adalah Legal, maka dalam proses pengembalian uang Rp 53.120.833.333,- (Lima Puluh Tiga Miliar Seratus Dua Puluh Juta Delapan Ratus Tiga Puluh Tiga Ribu Tiga Ratus Tiga Puluh Tiga Rupiah) tercatat di Bundel Pailit yang ada pada Tim Kurator,” imbuhnya.

Bank NTT, lanjutnya, sejak Tahun 2011 telah melakukan transaksi Surat Berharga sesuai dengan ketentuan yang ada pada Bank NTT, sama halnya transaksi dengan PT. SNP Finance sesuai prosedur, metode dan cara yang sama PT. BPD NTT telah mendapatkan keuntungan kurang lebilh Rp 1.000.000.000.000,- (Satu Triliun Rupiah). Dan baru pada tahun 2018 terjadi resiko bisnis dengan PT. SNP Finance senilai Rp 50.000.000.000,- (Lima Puluh Milyar Rupiah);

Baca Juga :  Hasil Verifikasi Laporan Mal-administrasi Pencopotan Izak Rihi Segera Disampaikan Ombudsman

MEMBACA berita tentang pernyataan Bank NTT melalui pengacaranya seperti dikutip di atas, saya tersenyum sendiri. Saya melihat ada sejumlah fakta yang sengaja ditutup-tutupi. Bahkan sengaja dialihkan alias ‘digoreng’ dari masalah yang sebenarnya. Pertanyaannya, Siapa yang mau ‘digoreng’? Dan siapa yang menggoreng opini liar yang menyesatkan?

Namun apapun penjelasan pihak Dirut Bank NTT melalui Kuasa Hukumnya, Apolos Djara Bonga, S.H perlu diapresiasi oleh masyarakat sebagai bentuk upaya meng-clear-kan banyaknya dugaan perbuatan melawan hukum di bank yang sangat kita cintai ini. Tetapi sayangnya klarifikasi ini menunjukan ketidakpahaman yang bersangkutan terhadap substansi dari masalah pembelian MTN itu sendiri.

Mari kita bedah bersama-sama pernyataan kuasa hukum bank NTT yang menurut saya tidak sesuai dengan fakta yang tercantum dalam LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 sebagai berikut :

FAKTA PERTAMA

Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 pada Halaman 30 secara jelas menyebutkan PT. Bank NTT menelaah atas usulan pembelian MTN VI SNP tahap I Tahun 2018 yang ditandatangani oleh Kasubdiv Domestik dan International dan Dealer yang disetujui oleh Kepala Divisi Treasury pada tanggal 06 Maret 2018;

Bahwa berdasarkan Fakta pertama ini maka ketentuan Pasal 97 ayat 5 UU 40 Tahun 2007 tentang BJR ini tidak dapat diterapkan karena perbuatan pembelian MTN oleh Bank NTT sebesar Rp. 50.000.000.000 (Lima Puluh Miliar) adalah bukan merupakan KEPUTUSAN DIREKSI melainkan KEPUTUSAN KEPALA DIVISI. Kepala Divisi yang menjabat saat itu adalah Sdr. Harry Alexander Riwu Kaho yang saat ini menjadi Direktur Utama Bank NTT;

Baca Juga :  Bank NTT Tetap Kukuh, Kerugian MTN Rp 50 Milyar Itu Resiko Bisnis

Bahwa berdasarkan informasi pembelian MTN oleh Bank NTT sebesar Rp. 50.000.000.000 (Lima Puluh Miliar) tersebut juga tidak disetujui oleh Direktur Utama Bank NTT saat itu yaitu Bapak EDI BRIA SERAN, oleh karena itu sudah sangat jelas dan terang benderang bahwa ini adalah BUKAN MERUPAKAN KEPUTUSAN DIREKSI sehingga tidak relevan lagi dan tidak dapat diterapkan argumentasi Business Judgment Rule (BJR) tersebut.

FAKTA KEDUA

Bahwa berdasarkan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut menemukan banyak pelanggaran atas pembelian MTN tersebut diantaranya :

Investasi pembelian MTN tersebut dilakukan tanpa didahului analisa kelayakan, atau due diligence atau uji tuntas.

Hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank karena PT Bank NTT belum memiliki pedoman terkait prosedur dan batas nilai pembelian MTN.

• Pembelian MTN Tidak Masuk dalam Rencana Bisnis PT. Bank NTT Tahun 2018

Selain itu PT. Bank NTT tidak melakukan On The Spot untuk mengetahui alamat kantor dan mengenal lebih jauh atas pengurus/manajemen PT. SNP. Pertemuan dengan pengurus/manajemen PT. SNP baru terjadi setelah PT. SNP mengalami permasalahan gagal bayar.

Pembelian MTN tidak melalui telaah terhadap laporan keuangan audited PT. SNP Tahun 2017 namun hanya berpatokan peringkatan yang dilakukan oleh Pefindo tanpa mempertimbangkan catatan pada pers release Pefindo yang menyatakan bahwa peringkatan belum berdasarkan Laporan Keuangan audited PT. SNP Tahun 2017, sehingga mitigasi atas risiko pembelian MTN tidak dilakukan secara baik.

PT. Bank NTT telah melakukan konfirmasi kepada bank-bank yang telah membeli produk MTN sebelumnya, tetapi tidak melakukan konfirmasi kepada bank yang menolak penawaran MTN untuk mengetahui alasan dan pertimbangan menolak melakukan pembelian MTN.

• Tidak mempertimbangkan kolektibilitas PT. SNP pada SLIK OJK (SLIK= Sistim Layanan Informasi Keuangan atau checking pinjaman pada bank lain).
Bahwa dalam fakta kedua ini berdasarkan temuan LHP BPK No. 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 tanggal 4 Januari 2020 tersebut maka sudah sangat jelas dan terang benderang pembelian MTN yang mengakibatkan kerugian Bank NTT tersebut dilakukan penuh dengan KELALAIAN DAN TIDAK HATI-HATI sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 97 ayat 5 undang-undang no 40 Tahun 2007 tentang BUSINESS JUDGMENT RULE (BJR) SEHINGGA TIDAK BISA DITERAPKAN.

Baca Juga :  Jurnalisme Yang Berpihak Kepada ‘Yang Lain’, Jejak Fabi Latuan Dalam Jurnalisme di NTT

FAKTA KETIGA

Bahwa peristiwa hukum yang sama dengan subjek hukum yang berbeda yaitu pembelian MTN PT. SNP oleh Bank SUMUT telah dituntut oleh Kejaksaan Tinggi Medan atas nama terdakwa Maulana Akhyar Lubis (Kepala Divisi Treasury) dengan Tuntutan selama 19 tahun penjara dan kemudian divonis oleh majelis Hakim Pengadilan Tipikor Medan No. 41/PID.SUS-TPK/2020/PN MDN dengan putusan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan hukuman pidana selama 10 tahun.

Bahwa putusan Pengadilan Tipikor Medan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan No. 29/PID.SUS-TPK/2020/PT MDN;

Bahwa jika Kejaksaan Tinggi Medan mampu menyelesaikan Kasus ini kenapa Kejaksaan Tinggi NTT tidak mampu padahal sudah ada Yurisprudensinya, dan ini merupakan peristiwa hukum yang sama.

• Aturan Yang Dilanggar :

a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Bagian Ketiga pada Pasal 13 ayat 1 yang menyatakan “Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Aset Produktif dalam bentuk Surat Berharga”;

b. Peraturan Bank Indonesia nomor 19/10/Pbi/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank pada Pasal 16 ayat 1.b yang menyatakan Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan dengan mewajibkan penyampaian data dan informasi paling sedikit “nama korporasi, bentuk badan hukum atau badan usaha, tempat dan tanggal pendirian, nomor izin usaha, alamat tempat kedudukan, jenis bidang usaha atau kegiatan, nomor telepon, nama pengurus, nama pemegang saham, dan data dan informasi identitas orang perseorangan yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama Korporasi;

  • Bagikan