Narasi (MTN Rp 50 Milyar Bank NTT ) Oleh Ketua Araksi, Mencerahkan atau ‘Sesat Pikir’?

Avatar photo
  • Bagikan
Horizon Nusantara
20220518 100341

Oleh Yohanes Hegon Kelen Kedati/kanan, (Ketua Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GRAK), Forum Pemuda Penggerak Perdamaian dan Keadilan (FORMADDA) NTT

Jakarta, Horizon Nusantara.Com– Para pemerhati hukum, para wartawan, pegiat antikorupsi, para aktivis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat NTT, yang selama ini mengawal proses hukum kasus dugaan Korupsi pembelian Medium Term Note (MTN) dari PT. Sunprima Nusantra Pembiayaan (SNP) sebesar Rp 50 Milyar oleh Bank NTT yang telah ditangani oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) dibuat kaget dengan pernyataan Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi (Araksi), Alfred Baun. Alfred Baun dalam jumpa persnya menanggapi kasus dugaan korupsi yang kunjung selesai, menyatakan bahwa, kasus MTN Rp 50 Milyar bank NTT itu murni resiko bisnis.

Pernyataan Alfred tersebut membuat kaget banyak pihak di tengah mandeknya proses hukum kasus MTN di Kejati NTT. Kasus MTN telah berlarut-larut tanpa ada progress berarti dan sampai hari ini belum ada kepastian hukum penetapan tersangka kasus ini.

Tulisan ini hadir untuk menanggapi pernyataan saudara Alfred Baun pada video pernyataan Alfred Baun berjudul, “Soal 50 Milyar MTN Bank NTT, Alfred Baun Araksi NTT, itu Murni Resiko Bisnis. Video itu dapat di lihat pada link berikut: https://youtu.be/Q-ZmoXMoQkI.

Berikut transcript pernyataan Alferd Baun terkait MTN

***

Alfred Baun     : “…Saya ambil MTN. MTN, Data kita ya. Selama ini Araksi belum bicara soal MTN tapi terkait dengan MTN, Data kita itu, kita belum menemukan kerugian negara. Kita harus jujur. Kita belum menemukan dugaan kerugian negara. Kenapa? Karena dari 24 obligasi yang dijual oleh Bank NTT, satu obligasi gagal, yaitu MTN 50 M. Oligasi yang gagal itu, itu telah ditangani pengadilan niaga. Pengadilan niaga sudah memutuskan untuk dilakukan sidak jaminan dan itu telah dilakukan.”

Wartawan         : “…Jadi uang 50 Milyar sudah kembali?”

Alfred Baun     : “Begini, Bank NTT itu bisnis uang untuk mencari untung. Ketika dia (Bank NTT) bisnis uang, tadi saya bilang ada 24 obligasi yang dijual, yang 23-nya itu menghasilkan milyaran masuk kepada bank NTT. Itu bisnis ya. Ada satu yang gagal, itu ya biasa, menurut Araksi ya. Ada satu yang gagal itu biasa dalam bisnis tapi kegagalan itu diikat oleh aturan kemudian itu digiring masuk kepada pengadilan niaga, dilaporkan ke pengadilan niaga. Karena tadi, bank NTT meminta salah satu ahli untuk melakukan dan menyatakan bahwa orang itu bisa. Ini ada ahli ni. Dalam perjalanan orang itu dinyatakan pailit. Dari 50 M itu tidak bisa dibungakan, tidak bisa dikembalikan sesuai ketentuan kontrak kerja sama mereka. Karena itu maka aturan perbankan itu, ini digiring masuk kepada pengadilan niaga untuk menyelidiki permasalahan ini. Begitu pengadilan niaga masuk, menyelidiki, disidangkan dan diputuskan bahwa you harus ganti. Karena dia tidak ada uang tapi ada jaminan maka jaminan asset itu dilakukan penyitaan. Hari ini kalau kita bicara tentang kerugian negara atau korupsi, kita tidak temukan bahwa ini masuk dalam ranah korupsi tapi procedural itu berjalan. Kami tidak bermaksud membela bank NTT. tidak. Ini kerugian bisnis. Dan dibawa dalam procedural itu adalah pengadilan niaga sudah memutuskan, itu. Kami dari Araksi itu tidak mau untuk berteriak tanpa data. Kami mau berteriak tetapi procedural, begitu. Bahwa ini procedural. Ketika anda mau membawa procedural yang baru mau masuk ke sini gak bisa, karena proseduralnya adalah seperti itu. Selesainya di putusan pengadilan niaga. Kita mau bawa aturan baru masuk di sana, procedural mereka itu adalah, dari perbankan itu kan menuju pada pengadilan niaga. Kalau dia sudah masuk dalam pengadilan niaga, dipengadilan ditemukan bahwa terjadi permasalahan dan karena itu kontrak yang kamu lakukan adalah asset menjadi jaminanan maka asset itu di sita untuk dilelang kembali agar menggantikan kembali kerugian perusahaan. Benar ada orang mengatakan bahwa bank ntt itu kan plat merah, itu dia masuk dalam BUMD. Betul. Tetapi kita tidak bisa mengarang aturan untuk melanggar aturan yang dipegang oleh bank. Dan setelah kami lakukan itu, saya baru paham. Yang tadinya, kita asumsi kita Analisa wow ini korupsi. … Siapa makan uang ini coba? Gak bisa, setelah kita temukan data-data bahwa oh terjadi penjualan obligasi, 24 oligasi di jual oleh Bank NTT. saya dalam Investigasi saya tanya, kenapa kamu menjual? Kita ada jual untuk cari untung. Kalau kami toko kami jual langsung itu Barang. Kalau toko kami jual itu barang. Kalau ada toko yang jualan keramik, dia rugi satu karena pecah ya itu memang resiko tapi kalau yang lain laku dan kami untung, ya itu untung kami.”

Baca Juga :  Jurnalisme Yang Berpihak Kepada ‘Yang Lain’, Jejak Fabi Latuan Dalam Jurnalisme di NTT

Wartawan       : “24 obligasi ini dalam satu paket atau beda-beda?”

Alfred Baun    : “Beda-beda”

Wartawan         : Kan setiap paket itu kan ada penyelewengan tersendiri, sebelum pembelian obligasi?

Alfred Baun    : Itu yang saya bilang ahli tadi. Ahli tadi menilai. Ahli itu telah diperiksa

***

Mempertanyakan Teks dan Narasi (MTN) Alfred Baun

Pertanyaan pertama yang harus kita ajukan kepada Alfred Baun adalah apa teks atau data atau dokument yang menjadi dasar pijakan Alfred Baun Membangun Narasi MTN Rp 50 Milyar? Selama ini, para wartawan, pegiat anti korupsi dan pemerhati hukum menggunakan “Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas Pengelolaan Dana Pihak Ketiga dan Penyaluran Kredit Komersial, Menengah dan Korporasi Tahun 2018 dan 2019 (s.d. semester i) Pada PT Bank NTT di Kupang, Surabaya, Maumere dan Oelamasi. Nomor : 1/LHP/XIX.KUP/01/2020”, yang dirilis pada tanggal : 14 Januari 2020. (mengenai Isi penjelasan masalah pembelian MTN dalam LHP BPK Nomor: 1/LHP/XIX.KUP/01/2020, dapat membaca tulisan saya, “Hermeneutika MTN Rp 50 Milyar Bank NTT”,  pada https://www.korantimor.com/blog/2022/05/15/18085/ ) Apakah Alfred Baun telah membaca LHP BPK ini? Ada kemungkinan yaitu:

Baca Juga :  Diduga Kajari TTU dan Kroninya Lakukan Intimidasi dan Kriminalisasi Terhadap Wartawan FN

1.     Kemungkinan pertama Alfred Baun belum membaca sama sekali LHP BPK ini.

Apabila yang terjadi adalah kemungkinan pertama ini, bisa saja para pemerhati hukum, para jurnalis dan pegiat anti korupsi memahami ‘keterbatasan’ Alfred Baun dalam mengakses data LHP BPK atau ‘keterbatasan’ Alfred dalam memahami permasalahannya. Namun, mengapa Alfred sebagai ketua Araksi masih ‘berteriak’ tentang Kasus pembelian Medium Term Note (MTN) dari PT. SNP senilai Rp 50 Milyar oleh Bank NTT yang telah ditangani oleh Kejati NTT? Mengapa kasusnya pembelian MTN dalam narasi yang dibangun Alfred jadinya penjualan obligasi? Apakah Alfred Baun tahu membedakan duduk perkara pembelian MTN dan penjualan obligasi? Bukankah pembelian dan penjualan adalah dua tindakan yang berbeda? Apakah data-data yang dimiliki Alfred Baun itu benar-benar data yang layak dipercaya? Bagaimana bisa Alfred mendapatkan data dari bank NTT? Bukankah terkait ‘rahasia’ perusahaan dengan dugaan kerugian akan di-keep oleh bank NTT dari pihak yang tidak berkepentingan?

2.     Kemungkinan kedua adalah Alfred Baun telah membaca LHP BPK ini dan diduga dengan sengaja membangun narasi yang jauh atau tidak ada hubungan sama sekali dengan hasil pemeriksaan BPK terkait pembelian MTN dari PT. SNP senilai Rp 50 Milyar oleh Bank NTT. Pertanyaan yang kita ajukan adalah apa kepentingan Alfred dengan membangun narasi tidak ada hubungan sama sekali dengan penjelasan LHP BPK tentang kasus MTN? Bukankah penjelasan ‘ngawur’ Alfred Baun tentang kasus MTN akan menurunkan kredibilitas dan kapasitasnya sebagai ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi? Ada Apa dengan Alfred Baun?

 

Duduk Perkara Kerugian Negara

“Saya ambil MTN. MTN, Data kita ya. Selama ini Araksi belum bicara soal MTN tapi terkait dengan MTN, Data kita itu, kita belum menemukan kerugian negara. Kita harus jujur. Kita belum menemukan dugaan kerugian negara.”

Saya tegaskan lagi bahwa selama ini, para wartawan, pegiat anti korupsi dan pemerhati hukum menggunakan “Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas Pengelolaan Dana Pihak Ketiga dan Penyaluran Kredit Komersial, Menengah dan Korporasi Tahun 2018 dan 2019 (s.d. semester i) Pada PT. Bank NTT di Kupang, Surabaya, Maumere dan Oelamasi. Nomor: 1/LHP/XIX.KUP/01/2020”, yang dirilis pada tanggal, 14 Januari 2020. Dokumen LHP BPK ini menjadi penting dan menjadi dasar pijakan bagi para pemerhati hukum, jurnalis dan pegiat antikorupsi dalam mengawal kasus pembelian MTN dari PT. SNP senilai Rp 50 Milyar oleh Bank NTT yang telah ditangani oleh Kejaksaan Tinggi NTT.

 

Secara hukum jelas bahwa Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga yang diamanatkan oleh UUD 1945 Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang Keuangan Negara (UUD 1945 Pasal 23E) dan Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang (UUD 1945 Pasal 23E ayat (3)). Ketentuan UUD 1945 Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 23E ayat (3) mengenai Badan Pemeriksa Keuangan. Kemudian dinormativisasi ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Baca Juga :  Penganiayaan Wartawan di NTT, Pengalihan Isu Korupsi dan Upaya Saling Melindungi di Lingkar Kekuasaan

Beberapa pasal-pasal penting dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan:

1)     Pasal 1 angka 1, ”BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945,” kemudian pernyataan ini dipertegas kembali pada

2)     Pasal 6 ayat (1) dinyatakan “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara”.

Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2008 tentang Penggunaan Pemeriksa dan/atau Tenaga Ahli dari Luar Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 2 ayat (3) dinyatakan: “Pengelolaan dan Tanggung-jawab Keuangan Negara yang diperiksa oleh BPK meliputi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara”

3)     Pasal 10 ayat (1) menyatakan, ”BPK berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh  bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”;

Pasal 10 ayat (2); menyatakan: “Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK”.

Beberapa pasal-pasal penting dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

1)     Pasal 13 “Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana”.

2)     Pasal 14 (1) “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

3)     Pasal 20

(1)   Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

(2)   Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.

(3)   Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.

  • Bagikan